Jumat, 25 Februari 2011

SEMBAHYANG UNTUK MENGHORMATI TIAN


SEMBAHYANG UNTUK MENGHORMATI TIAN


Seperti telah dituturkan sebelumnya, akhirnya tidak ada batasan lagi antara istilah Shang Di dan Tian. Sebutan Tian yang kemudian secara lebih akrab disebut Tian Gong (Thian Kong – hokkian) menjadi istilah yang umum apabila kita menyebut Shang Di. Pemujaan terhadap Tian Gong ini kemudian meluas sampai ke golongan masyarakat yang paling bawah seperti petani dan lain-lain. Bahkan kemudian muncul istilah “CHU JIU TIAN GONG  SHENG”. Istilah yang sangat popular di propinsi Fujian dan Taiwan ini mempunyai arti bahwa “Pada tanggal 9 bulan pertama Imlek adalah ulang tahun Tian Gong”. Sebab itu masyarakat di dua tempat itu mengadakan sembahyang khusus untuk menghormat Tian, yang disebut sembahyang “JING TIAN GONG” (King Thi Kong  – hokkian). Upacara sembahyang ini termasuk salah satu rangkaian upacara pada pesta menyambut musim semi yang berlangsung selama 15 hari.

Pada tanggal 9 bulan pertama Imlek itu, upacara sembahyang dilakukan mulai dari kalangan atas sampai orang-orang miskin sekalipun. Penduduk yang miskin cukup menempatkan sebuah pendupaan kecil yang digantungkan di depan pintu rumahnya dan menyalakan Xiang (Hio – hokkian) dari pagi sampai tengah malam terus menerus. Bagi orang yang berada, acara sembahyang ini merupakan hal yang paling megah dan khusuk. Sebuah meja besar yang di keempat kakinya diletakkan di atas sebuah bangku panjang. Kemudian di atas meja tersebut ditata tiga buah “Shen Wei” (tempat roh) yang terbuat dari kertas warna-warni yang saling dilekatkan. Barulah kemudian di depan Shen Wei dijajarkan tiga buah cawan kecil berisi the, tiga buah mangkuk yang beisi misoa yang diikat dengan kertas merah. Sesudah itu enam macam masakan vegetarian dan lima macam buah diatur di bagian depan. Inilah yang disebut “Wu Guo Liu Chai” (Ngo Ko Liok Cay – hokkian) yang menjadi dasar utama dalam penataan barang sesaji upacara sembahyang orang Tionghoa. Di bagian paling depan dipasang lilin merah 2 batang. Di bawah meja utama yang diletakkan di atas bangku panjang ini terdapat sebuah meja kecil. Di atas meja kecil itu diletakkan sajian lima macam daging “Wu Xing” (Ngo Sing – hokkian). Kemudian masih ditambah lagi dengan beberapa benda sesaji seperti arak dan Kue berbentuk kura-kura yang berwarna merah. Konon sesajian meja bagian bawah ini diperuntukkan bagi para malaikat pengawal Tian Gong.

Sehari sebelum upacara sembahyang dimulai, seluruh penghuni rumah melakukan mandi keramas dan ganti baju. Sembahyang dilakukan tepat pukul 12 tengah malam, dimulai dengan anggota keluarga yang paling tua dalam urutan generasinya, semuanya melakukan “San Gui Jiu Kou” (Sam Kwi Kiu Khau – hokkian) yaitu tiga kali berlutut dan sembilan kali menyentuhkan kepala ke tanah. Sesudah selesai baru kemudian kertas emas yang dibuat khusus lalu dibakar bersama dengan tempat roh yang terbuat dari kertas warna-warni. Petasan kemudian dipasang untuk mengantar kepergian para malaikat pengiring. Di kalangan Tionghoa perantau di Indonesia sembahyang ini dikenal dengan sebutan “Sembahyang Tuhan Allah” dan dilakukan dengan penuh kekhidmatan.

Tak jelas kapan masyarakat propinsi Fujian memulai sembahyang ini. Sebuah sumber mengatakan bahwa Sembahyang Tuhan Allah baru mulai ada pada jaman Dinasti Qing. Seperti dikertahui bahwa Fujian merupakan basis terakhir perlawanan sisa-sisa pasukan yang masih setia pada Dinasti Ming. Pada waktu pasukan Manchu (Qing) memasuki Fujian mereka dihadapkan dengan perlawanan gigih dari rakyat setempat dan sisa-sisa pasukan Ming. Setelah perlawanan dipatahkan dengan penuh kekejaman, akhirnya seluruh propinsi Fujian dapat dikuasai oleh pihak Qing. Selama terjadinya kekacauan itu banyak rakyat menyembunyikan diri di dalam perkebunan tebu yang banyak tumbuh di sana. Di dalam rumpun tebu itu pulalah mereka melewatkan malam tahun baru Imlek. Setelah keadaan aman, berbondong-bondong mereka keluar dan kembali ke rumahnya masing-masing. Untuk menyatakan rasa syukur karena terhindar dari bahaya maut akibat bencana perang itu mereka lalu mengadakan sembahyang Jing Tian Gong pada tanggal 9 bulan 1 Imlek itu sebagai ucapan rasa terima kasih kepada Tian.

Dari contoh di atas jelas bahwa sebetulnya orang Tionghoa percaya akan Tuhan yang disebutkan sebagai Shang Di atau Tian Gong, hanya konsepnya saja yang berbeda dengan agama bangsa-bangsa lain. Bagi orang Tionghoa, Tuhan mempunyai pembantu-pembantu yang terdiri dari pelbagai dewa yang mempunyai jabatan tertentu, dan berkewajiban melakukan pengawasan terhadap perbuatan manusia dalam lingkungan kekuasaan dan wilayah masing-masing.

“Maka dengan begitu, jika ada orang Tionghoa yang bersembahyang di kelenteng, ini bukan disebabkan mereka percaya tahayul, melainkan disebabkan karena ia hendak menghadap kepada salah satu diantara sekian banyak pembantu Tuhan di dunia ini untuk keperluan tertentu atau sekedar mencurahkan perasaan hatinya.” Demikian dikatakan oleh seorang Sinolog Indonesia kenamaan Yunus Nur Arif (Nio Yu Lan) dalam bukunya – Peradaban Tionghoa selayang pandang,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar