Sabtu, 19 Februari 2011

ASAL USUL KELENTENG

          Orang Tionghoa sudah datang ke kepulauan Nusantara ini, jauh sebelum orang kulit putih pertama menginjakkan kakinya. Pemukiman mereka di pesisir utara pulau Jawa  sudah ada pada abad ke-14 yaitu pada jaman Majapahit, demikian ditulis oleh Ma Huan dalam bukunya Ying Ya Sheng Lan yang merupakan catatan penting tentang perjalanan Zheng He (Cheng Ho - Hokkian) ke Lautan Selatan dan singgah di Jawa pada masa itu. Bersamaan dengan kedatangan para imigran itu, mengalir masuk pula kebudayaan mereka, terutama kebudayaan spiritual seperti adat-istiadat, upacara-upacara, dan agama, walaupun tak sedikit pula yang langsung menganut agama penduduk setempat.
         
          Seiring dengan makin mapannya kehidupan di tanah perantauan, kebutuhan akan tempat beribadah sebagai tanda terima kasih kepada Yang Maha Kuasa pun mulai dirasakan. Maka berdirilah KELENTENG-KELENTENG di tempat pemukiman mereka sebagai tempat dilakukannya kegiatan rohani dan sosial. Kelenteng yang pada mulanya didirikan tentunya bercorak khas Tionghoa, tapi dalam perkembangannya kemudian banyak juga yang dipengaruhi oleh kebudayaan setempat, terutama setelah banyaknya tukang-tukang dan ahli pahat pribumi diikutsertakan dalam pembangunannya.

          Istilah "KELENTENG" merupakan bahasa Indonesia yang khusus untuk menyebut rumah ibadat yang digunakan oleh keturunan Tionghoa. Menurut beberapa pakar bahasa, istilah ini berasal dari bunyi "teng-teng" atau "kelenteng-kelenteng" yang sering diperdengarkan dari dalam bangunan itu, pada waktu diadakan upacara sembahyang.Bunyi-bunyian itu berasal dari lonceng-lonceng yang ditabuh pada waktu pembacaan doa-doa atau pada saat puncak upacara dilangsungkan.

          Dalam bahasa Tionghoa, kelenteng mempunyai banyak istilah, tergantung dari corak dan besar-kecilnya kelenteng tersebut.

          Istilah yang utama adalah "MIAO" (Bio - hokkian) yang berarti Kelenteng Besar. Seperti yang terdapat di samping pintu gerbang Tian An Men, Beijing, yaitu Da Miao (artinya Kelenteng Agung), yang merupakan bangunan peribadatan tempat para Kaisar dari dua dinasti - Ming dan Qing - melakukan upacara puja-bhakti kepada para leluhurnya.

          Tempat para pejabat tinggi memuja leluhurnya dinamakan "CI" (Su - hokkian) atau secara umum disebut "Ci Tang" atau "Zong Ci". Misalnya Wu-liang-ci yang terdapat di Jia-Xiang, provinsi Shandong yang merupakan kelenteng leluhur keluarga Wu dari jaman dinasti Han. Ada juga Miao yang diturunkan tingkatnya menjadi Ci. Di Cheng-du, provinsi Sichuan terdapat sebuah kelenteng yang bernama Xian-zhu Miao, untuk menghormati Liu Bei (Lauw Pi - Hokkian), di dekatnya terdapat sebuah kelenteng besar juga untuk menghormati Liu Chan, putera Liu Bei, kelenteng itu bernama Hou-zu Ci. Karena Liu Chan tidak becus maka kerajaan yang diwariskan kepadanya oleh sang ayah akhirnya runtuh, sebab itu rupanya orang menganggap tak layak kalau kelenteng yang didirikan untuk mengenang Liu Chan disebut sebagai Miao.

          Sesudah jaman dinasti Sui dan Tang, tempat beribadat kaum Taoist mulai banyak bermunculan, dan disebut "DAO YUAN". Dao Yuan dibagi 2 golongan menurut tingkatnya yaitu "GONG" (berarti Istana) dan "GUAN". Kelenteng bercorak Taoist yang didirikan oleh Kaisar disebut "Gong" seperti Qing-yang Gong di Chengdu, Yu-xiao Gong di Guangzhou. Keduanya adalah kelenteng Taoisme terkenal yang didirikan oleh Kaisar dinasti Song. Di Jawa juga terdapat kelenteng "Gong" yaitu Ci An Gong (Cu An Kiong - hokkian) di Lasem dan Yong An Gong (Eng An Kiong - hokkian) di Malang. Setingkat lebih rendah dari Gong adalah Guan. Kelenteng Bai Yun Guan di Beijing dan Xuan Miao Guan di Suzhou adalah contoh kelenteng Taoist yang dibangun pada jaman dinasti Yuan.

          Dapat ditarik kesimpulan bahwa tempat-tempat pemujaan terhadap "Gui Shen" (Kwi Sin - hokkian) atau "Roh Suci" dinamakan Ci atau Miao. Sedangkan Gong dan Guan adalah kelenteng para penganut Taoisme untuk memuja dewa-dewa Taoisme.

          Adalagi istilah lain yaitu "AN" (Am - hokkian) dan "SI" (Si - hokkian). Kedua istilah ini mengacu pada kelenteng para penganut Budhisme yang memuja Ru Lai Fo. Kelenteng bercorak Budhisme semacam ini biasanya besar dan memiliki asrama untuk para pendeta, tempat pendidikan, perpustakaan, tempat meditasi, dll. An adalah kelenteng yang khusus ditempati para bhikuni (rahib wanita). Si sebaliknya adalah kelenteng Budhisme yang ditempati para bhiku (rahib pria).

          Shao Lin Si (Siau Lim Si - hokkian), Bi Yun Si (Pek In Si - hokkian) adalah contoh dari "Si" yang terkenal di Tiongkok. Di Jawa ada beberapa "Si" yang terkenal antara lain Chao Jue Si (Tiao Kak Si - hokkian) di Cirebon dan Da Jue Si (Tay Kak Si - hokkian) di Semarang.

          Jadi  jelas bahwa "Kelenteng merupakan istilah asli Indonesia". Sebab dalam bahasa Tionghoa tak terdapat istilah yang demikian itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar