Senin, 28 Februari 2011

YU HUANG DA DI


YU HUANG DA DI

Yu Huang Da Di (Giok Hong Tay Tee – hokkian), biasanya disebut sebagai Tian Gong Zu (Thian Kong Co – hokkian). Kadang-kadang disebut sebagai Yu Huang Shang Di (Giok Hong Shang Te – hokkian), yang secara harfiah berarti “Kaisar Pualam”, sebab Pualam atau Kumala merupakan lambing kesucian. Beliau dianggap sebagai pelaksana tertinggi pemerintahan alam semesta, bertahta di kahyangan.

Pada jaman dahulu hanya kaisar saja yang boleh melakukan upacara persembahyangan kepadaNya, menteri atau rakyat biasa tidak diijinkan. Pada masa Zheng Cheng Gong, di Taiwan pernah melakukan sembahyang kepada Yu Huang, untuk mewakili kaisar dinasti Ming. Karena kaisar Ming sudah tiada, maka untuk bersembahyang kepada Tian, dia merasa perlu mewakili. Barulah sesudah keturunan Zheng Cheng Gong menyerah kepada pemerintah dinasti Qing (Manchu), upacara ini dihentikan. Setelah itulah, meskipun tidak diperkenankan melakukan upacara sembahyang kepada Tian, rakyat kebanyakan melakukan sembahyang di rumah masing-masing di hadapan pedupaan pemujaan, untuk bersujud kepada Tian, dan berdoa memohon keselamatan.

Pada masa pertengahan dinasti Qing, karena kerajaan sibuk memulihkan keamanan di berbagai propinsi di Tiongkok, maka pemujaan resmi tidak dilakukan lagi. Rakyat lalu melakukan pemujaan di kelenteng dimana Zheng Cheng Gong melakukan upacara tersebut, yang lazimnya disebut Tian Gong Miao.

Bersamaan waktunya juga didirikan kelenteng Yu Huang Gong, di Gunung Jiang San, dan pada tahun Jia Qing ke 5 ditambah sebuah arca Yu Huang Shang Di. Jadi sekarang di Taiwan terdapat dua buah kelenteng untuk memuja Yu Huang Da Di. Pengunjung kedua kelenteng ini sangat banyak, terutama pada tanggal 9 bulan 1 Imlek, yang dianggap ulang tahun Yu Huang Da Di. Kecuali itu, perkumpulan-perkumpulan swasta yang memuja Yu Huang pun mulai banyak, diantaranya yang terkenal adalah perkumpulan Jing Xian Tang yang didirikan pada tahun Xian Feng yang ke-8.

Asal usul pemujaan Yu Huang yang kemudian banyak memperoleh gelar kehormatan, kira-kira sebagai berikut : Kaisar Zhen Song dari dinasti Song (1005 M) terpaksa harus menandatangani perjanjian damai dengan orang Tungus (Ji Tan). Karena hal yang memalukan ini kerajaan mengalami krisis kepercayaan dari rakyat, sehingga dukungan dari rakyat dikhwatirkan merosot. Untuk menenangkan rakyatnya, sang kaisar berlaku seakan-akan ia bisa melakukan komunikasi langsung dengan dewata di langit. Pada suatu hari, pada bulan ke sepuluh tahun 1012, dikumpulkannya semua menterinya dan beliau lalu bersabda “Di dalam mimpiku, seorang dewa telah datang kepadaku dengan membawa sepucuk surat dari Yu Huang Da Di dan mengatakan bahwa leluhurku akan datang sendiri dan dipertemukan dengan aku.”

Sungguh ajaib, apa yang dikatakannya menjadi nyata, Song Tai Zu (pendiri dinasti Song) tiba-tiba menampakkan diri di depannya. Baginda Kaisar Song Zhen Song sangat heran sekali. Sejak saat itulah lalu diadakan sembahyang pemujaan terhadap Yu Huang Shang Di.

Jumat, 25 Februari 2011

YU HUANG SHANG DI BUKAN TUHAN YANG MAHA ESA


YU HUANG SHANG DI BUKAN TUHAN YANG MAHA ESA

Umumnya apabila orang menyebut Shang Di atau Tian Gong, mereka mengacu pada satu nama yaitu Yu Huang Shang Di (Giok Hong Siang Tee – hokkian) yang dianggap sebagai Tuhan sebagaimana halnya orang Yahudi menyebut Yehowa. Yu Huang Shang Di ini bertahta di langit tingkat ke-33 di sebuah istana yang disebut “Ling Xiao Bao Tian” yang berarti Istana Halimun Mujizat. Biasanya di dalam kelenteng, tidak terdapat gambar atau arca pemujaan Yu Huang Shang Di, untuk bersembahyang padanya cukup disediakan sebuah pedupaan besar yang terletak di depan ruang utama. Pedupaan ini dinamakan Tian Gong Lu.

Tapi ada pula kelenteng yang khusus memuja Yu Huang Shang Di, menampilkannya dengan wujud seorang kaisar yang berpakaian kuno, tangannya memegang sebilah Hu (bilah dari gading yang digunakan oleh menteri-menteri jaman kuno untuk menghadiri sidang kerajaan). Timbul suatu pertanyaan, Yu Huang Shang Di mengapa digambarkan dengan membawa Hu? Padahal Hu hanya dibawa oleh para menteri pada saat menghadap kaisar. Apakah ini berarti bahwa sebetulnya Yu Huang Shang Di masih mempunyai atasan lagi? Kepada siapa ia menghadap? Apakah masih ada Shang Di lain yang menjadi atasannya? Hal ini memang sangat menggelitik untuk diteliti.

Di kalangan rakyat, tidak pelak lagi Yu Huang Shang Di lah yang dianggap penguasa tertinggi alam semesta ini. Menurut E.T.C. Werner dalam “Myths and legends of China”, pemujaan Yu Huang Shang Di baru dimulai pada jaman Kaisar Zhen Zong dari dinasti Song (1005 M). Tapi apabila kita menengok dalam kisah yang dianggap sebagai riwayat Yu Huang Shang Di, kita akan memperoleh bukti bahwa sesungguhnya Yu Huang Shang Di diangkat dari kalangan manusia, yang karena mempunyai perilaku yang sangat luhur lalu ditempatkan pada kedudukan yang sekarang.

Dalam kisah dikatakan bahwa ia adalah seorang Pangeran dari negeri yang disebut Guang Yang Miao Luo Guo yang kemudian meninggalkan tahta kerajaan dan menjadi pertapa di gunung Pu Ming Shan sampai memperoleh kesempurnaan.

Di dalam kitab suci Yu Huang dan Di Mu (Giok Hong dan Te Bo – hokkian) disebutkan : Tai Ji (Thay Kik – hokkian) atau Maha-ada sebagai permulaan langit dan bumi; Wu Ji (Bu Kik – hokkian) atau Maha-kosong sebagai penghabisannya langit dan bumi. Tai Ji dan Wu Ji sama-sama diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, merupakan masa yang tidak selalu kekal. Timbulnya Wu Ji berarti musnahnya Tai Ji, sedangkan timbulnya Tai Ji berarti musnahnya Wu Ji  ………………………………… Langit bumi adalah unsur mewujudkan alam semesta, dan merupakan pokok penciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa pada Tai Ji. Sebelum menciptakan langit dan bumi, Tuhan Yang Maha Kuasa terutama menciptakan Dewa Penguasa atas langit dan bumi, sebagai pengemban tugas besar alam semesta dalam mewujudkan Sarwa Alam Sempurna. Dalam hal ini Yu Huang Shang Di adalah sebagai Dewa Yang Maha Agung Penguasa Langit dan dipuja sebagai Tian Gong atau Bapak Langit.

Dalam kitab suci Shen Yan Jue (kitab doa untuk memuji Yu Huang Shang Di) juga disebutkan bahwa Yu Huang Shang Di diangkat menjadi Penguasa Langit setelah semasa hidupnya mengorbankan diri untuk menyelamatkan manusia dari bencana banjir yang dahsyat.

Dari kedua kitab suci ini, jelas bahwa sesungguhnya Yu Huang Shang Di diangkat dari kalangan manusia karena pribadinya yang luhur. Ia adalah Dewata tertinggi sebagai pelaksana pemerintahan alam semesta. Sebab itu ia ditampilkan dengan memegang Hu, yang digunakan dalam upacara menghadap atasannya yaitu Tuhan Yang Maha Esa
.

SEMBAHYANG UNTUK MENGHORMATI TIAN


SEMBAHYANG UNTUK MENGHORMATI TIAN


Seperti telah dituturkan sebelumnya, akhirnya tidak ada batasan lagi antara istilah Shang Di dan Tian. Sebutan Tian yang kemudian secara lebih akrab disebut Tian Gong (Thian Kong – hokkian) menjadi istilah yang umum apabila kita menyebut Shang Di. Pemujaan terhadap Tian Gong ini kemudian meluas sampai ke golongan masyarakat yang paling bawah seperti petani dan lain-lain. Bahkan kemudian muncul istilah “CHU JIU TIAN GONG  SHENG”. Istilah yang sangat popular di propinsi Fujian dan Taiwan ini mempunyai arti bahwa “Pada tanggal 9 bulan pertama Imlek adalah ulang tahun Tian Gong”. Sebab itu masyarakat di dua tempat itu mengadakan sembahyang khusus untuk menghormat Tian, yang disebut sembahyang “JING TIAN GONG” (King Thi Kong  – hokkian). Upacara sembahyang ini termasuk salah satu rangkaian upacara pada pesta menyambut musim semi yang berlangsung selama 15 hari.

Pada tanggal 9 bulan pertama Imlek itu, upacara sembahyang dilakukan mulai dari kalangan atas sampai orang-orang miskin sekalipun. Penduduk yang miskin cukup menempatkan sebuah pendupaan kecil yang digantungkan di depan pintu rumahnya dan menyalakan Xiang (Hio – hokkian) dari pagi sampai tengah malam terus menerus. Bagi orang yang berada, acara sembahyang ini merupakan hal yang paling megah dan khusuk. Sebuah meja besar yang di keempat kakinya diletakkan di atas sebuah bangku panjang. Kemudian di atas meja tersebut ditata tiga buah “Shen Wei” (tempat roh) yang terbuat dari kertas warna-warni yang saling dilekatkan. Barulah kemudian di depan Shen Wei dijajarkan tiga buah cawan kecil berisi the, tiga buah mangkuk yang beisi misoa yang diikat dengan kertas merah. Sesudah itu enam macam masakan vegetarian dan lima macam buah diatur di bagian depan. Inilah yang disebut “Wu Guo Liu Chai” (Ngo Ko Liok Cay – hokkian) yang menjadi dasar utama dalam penataan barang sesaji upacara sembahyang orang Tionghoa. Di bagian paling depan dipasang lilin merah 2 batang. Di bawah meja utama yang diletakkan di atas bangku panjang ini terdapat sebuah meja kecil. Di atas meja kecil itu diletakkan sajian lima macam daging “Wu Xing” (Ngo Sing – hokkian). Kemudian masih ditambah lagi dengan beberapa benda sesaji seperti arak dan Kue berbentuk kura-kura yang berwarna merah. Konon sesajian meja bagian bawah ini diperuntukkan bagi para malaikat pengawal Tian Gong.

Sehari sebelum upacara sembahyang dimulai, seluruh penghuni rumah melakukan mandi keramas dan ganti baju. Sembahyang dilakukan tepat pukul 12 tengah malam, dimulai dengan anggota keluarga yang paling tua dalam urutan generasinya, semuanya melakukan “San Gui Jiu Kou” (Sam Kwi Kiu Khau – hokkian) yaitu tiga kali berlutut dan sembilan kali menyentuhkan kepala ke tanah. Sesudah selesai baru kemudian kertas emas yang dibuat khusus lalu dibakar bersama dengan tempat roh yang terbuat dari kertas warna-warni. Petasan kemudian dipasang untuk mengantar kepergian para malaikat pengiring. Di kalangan Tionghoa perantau di Indonesia sembahyang ini dikenal dengan sebutan “Sembahyang Tuhan Allah” dan dilakukan dengan penuh kekhidmatan.

Tak jelas kapan masyarakat propinsi Fujian memulai sembahyang ini. Sebuah sumber mengatakan bahwa Sembahyang Tuhan Allah baru mulai ada pada jaman Dinasti Qing. Seperti dikertahui bahwa Fujian merupakan basis terakhir perlawanan sisa-sisa pasukan yang masih setia pada Dinasti Ming. Pada waktu pasukan Manchu (Qing) memasuki Fujian mereka dihadapkan dengan perlawanan gigih dari rakyat setempat dan sisa-sisa pasukan Ming. Setelah perlawanan dipatahkan dengan penuh kekejaman, akhirnya seluruh propinsi Fujian dapat dikuasai oleh pihak Qing. Selama terjadinya kekacauan itu banyak rakyat menyembunyikan diri di dalam perkebunan tebu yang banyak tumbuh di sana. Di dalam rumpun tebu itu pulalah mereka melewatkan malam tahun baru Imlek. Setelah keadaan aman, berbondong-bondong mereka keluar dan kembali ke rumahnya masing-masing. Untuk menyatakan rasa syukur karena terhindar dari bahaya maut akibat bencana perang itu mereka lalu mengadakan sembahyang Jing Tian Gong pada tanggal 9 bulan 1 Imlek itu sebagai ucapan rasa terima kasih kepada Tian.

Dari contoh di atas jelas bahwa sebetulnya orang Tionghoa percaya akan Tuhan yang disebutkan sebagai Shang Di atau Tian Gong, hanya konsepnya saja yang berbeda dengan agama bangsa-bangsa lain. Bagi orang Tionghoa, Tuhan mempunyai pembantu-pembantu yang terdiri dari pelbagai dewa yang mempunyai jabatan tertentu, dan berkewajiban melakukan pengawasan terhadap perbuatan manusia dalam lingkungan kekuasaan dan wilayah masing-masing.

“Maka dengan begitu, jika ada orang Tionghoa yang bersembahyang di kelenteng, ini bukan disebabkan mereka percaya tahayul, melainkan disebabkan karena ia hendak menghadap kepada salah satu diantara sekian banyak pembantu Tuhan di dunia ini untuk keperluan tertentu atau sekedar mencurahkan perasaan hatinya.” Demikian dikatakan oleh seorang Sinolog Indonesia kenamaan Yunus Nur Arif (Nio Yu Lan) dalam bukunya – Peradaban Tionghoa selayang pandang,

Rabu, 23 Februari 2011

PENGERTIAN TENTANG TUHAN DALAM PEMUJAAN KELENTENG



Pengertian Tuhan dalam kepercayaan orang Tionghoa sebenarnya juga tidak berbeda dengan agama-agama yang lain, Tuhan dianggap sebagai Pencipta Alam Semesta dan segala isinya. Dalam kepercayaan kalangan rakyat, Tuhan biasanya disebut sebagai “TIAN” (Thian – hokkian) atau “SHANG DI” (Siang Tee – hokkian). Tian  adalah penguasa tertinggi alam semesta ini, sebab itu kedudukanNya berada di tempat yang paling agung. Sedangkan para dewa dan malaikat yang lain adalah para”pembantuNya” dalam menjalankan roda pemerintahan di alam semesta ini, sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Pemujaan Tian dan Shang Di

Secara umum orang beranggapan bahwa Tian dan Shang Di adalah tidak berbeda. Sebetulnya kedua istilah ini memiliki kandungan arti yang tidak sama. Orang Tionghoa umumnya percaya bahwa alam semesta ini selalu terdiri dari dua unsur yaitu Yin dan Yang (Im dan Yang – hokkian). Kepercayaan akan Yin dan Yang ini berlaku untuk semua hal, termasuk kepercayaan akan dunia fana dan alam baka.

Rakyat percaya bahwa pemerintahan kahyangan memiliki struktur yang sama dengan sistem pemerintahan di dunia. Kalau pemerintahan dunia terdiri dari kaisar, perdana menteri, menteri-menteri sipil dan militer, dan lain-lain, maka pemerintahan kahyangan pun dipimpin oleh Shang Di an dibantu para dewa-dewa baik sipil maupun militer untuk mengatur tata tertib di alam semesta ini. Sebab inilah maka para Huang Di (Kaisar) yang di bumi merasa perlu untuk memuja Shang Di (Kaisar yang berkedudukan di atas/kahyangan) untuk mohon perlindungan dan berkah serta petunjuk-petunjuk untuk menjalankan roda pemerintahan di bumi ini agar selalu selaras dengan kehendal Shang Di.

Sebetulnya istilah Tian berarti tempat tinggal Shang Di. Tapi karena kebingungan akan makna dan kekurangan pengetahuan akan bahasa Hua Yu kuno, maka tempat tinggal atau benda milik dari roh suci itu sering kali dipersonifikasikan dan dipuja sebagai pengganti atau pelengkap roh suci itu sendiri.

Pemujaan terhadap Shang Di hanya boleh dilakukan oleh kaisar dan para keluarganya, karena beranggapan bahwa Shang Di adalah leluhur mereka dan memberikan mandat untuk memerintah di bumi ini. Rakyat biasa tidak diperbolehkan untuk memuja Shang Di, karena dengan berbuat begitu, dapat dianggap mendudukkan dirinya sebagai keluarga kaisar, suatu pelanggaran yang diancam dengan hukuman mati. Ketaatan pada kaisar yang menamakan dirinya sebagai wakil Shang Di, dengan menghormat dan mematuhi segala kehendaknya, sudah dianggap sebagai penghormatan dan pemujaan terhadap Shang Di sendiri secara tidak langsung. Jadi pemujaan terhadap Shang Di tidak dapat dilakukan secara resmi dalam suatu upacara seperti yang dilakukan oleh para pejabat kerajaan. Upacara sembahyang kepada Shang Di hanya boleh dilakukan oleh keluarga kerajaan dan dipimpin oleh kaisar sendiri sebagai pendeta agung, dibantu oleh anggota keluarganya dan para petinggi kerajaan yang lain. Pada saat itu rakyat jelata tidak diperkenankan untuk menghadiri ataupun mengadakan sembahyang walaupun di kediamannya sendiri.

Karena Tian yang merupakan kediaman para roh-roh suci kemudian juga dipersonifikasi dan dipuja, maka rakyat jelata yang tidak mempunyai hak untuk memuja Shang Di lalu mengalihkan pemujaan kepada Tian. Walaupun kaisar juga memuja Tian, tapi rakyat jelata tidak dilarang untuk memujanya juga. Sembahyang terhadap Tian biasanya dilakukan oleh pihak kerajaan di altar kerajaan yang disebut Tian Tan yang ada di ibukota. Sedang rakyat biasanya mengadakan di rumahnya masing-masing atau di tepi jalan, di depan pintu tanpa upacara macam-macam, cukup dengan sebatang dupa yang disojakan ke arah langit.

Lama-kelamaan, terutama sejak jaman dinasti Song (960 – 1280 Masehi), batasan antara Tian dan Shang Di menjadi kabur. Arti dari kedua istilah itu menjadi tak jelas lagi perbedaannya. Kekaburan-arti ini terus menerus berlangsung sampai sekarang. Apalagi kaisar-kaisar pada dinasti yang kemudian tidak begitu ketat lagi dalam memberlakukan larangan pemujaan Shang Di oleh rakyat. Akibatnya, orang kebanyakan berkata bahwa mereka mengadakan persembahan sederhana kepada Shang Di, pada waktu menyalakan dupa dan lilin. Padahal sebetulnya ia tidak berhak berbuat begitu, walaupun sangat menghormatinya. Ia hanya tahu bahwa Tian adalah Shang Di dan Shang Di adalah Tian.

Senin, 21 Februari 2011

PENGGOLONGAN PARA SHEN MING (DEWATA)


Secara spesifik dalam Zu Xian Jiao, para Shen Ming digolongkan dalam 3 penggolongan uatam, yaitu :

  1. Dewata penguasa alam semesta yang mempunyai wilayah kekuasaan di langit. Para Dewata golongan ini dipimpin oleh Dewata tertinggi yaitu Yu Huang Da Di, Yuan Shi Tian Zun. Termasuk di dalam golongan ini antara lain Dewa-dewa Bintang, Dewa Kilat, Dewa Angin, dan lain-lain.
  2. Dewata penguasa bumi, yang memiliki kekuasaan di bumi, walau sebetulnya mereka termasuk malaikat langit. Kekuasaan mereka adalah dunia dan manusia, termasuk akherat. Dalam Daoisme mereka dikatakan sebagai para dewata yang menguasai Wu Xing (Ngo Heng – hokkian) atau Lima Unsur, yaitu :
    • Kayu (Dewa Hutan, Dewa Kutub, dan sebagainya)
    • Api (Dewa Api, Dewa Dapur)
    • Logam (Dewa penguasa kekayaan dalam bumi)
    • Air (Dewa Sumur, Dewa Sungai, Dewa Laut, Dewa Hujan, dan lain-lain)
    • Tanah (Dewa Bumi, Dewa Gunung, Penguasa Akherat, Dewa Pelindung Kota, dan lain-lain).
  3. Dewata Penguasa Manusia, yaitu para dewata yang tugasnya mengurus soal-soal yang bersangkutan dengan kehidupan manusia seperti kelahiran, perjodohan, kematian, usia, rejeki, kekayaan, dan lainnya. Termasuk dalam golongan ini adalah Dewa Pelindung usaha Pertukangan, Dewa Pengobatan, dan lain-lain. Kemudian ditambah lagi dengan dewata kedaerahan yang menjadi pelindung masyarakat yang berasal dari daerah yang sama.

Dengan masuknya agama Budha dari India, Dewata-dewata Budhisme pun menjadi pujaan rakyat sejajar dengan dewa-dewa lainnya, dan ditambahkan di kelenteng bersama-sama. Diantaranya yang paling popular adalah Mi Lo Fo serta Ru Lai Fo yang sudah kehilangan sifat Indianya dan melebur dalam kebudayaan Tionghoa sehingga memperoleh bentuk sebagai Dewa Tionghoa tulen.

JING TIAN ZUN ZU


JING TIAN ZUN ZU

Secara hakiki, dasar kepercayaan oang Tionghoa berasal dari ajaran KONG ZI yaitu “JING TIAN ZUN ZU” yang berarti “Memuliakan Tuhan dan Menghormati Leluhur”.

            Asas inilah yang kemudian banyak memegang peran dalam berbagai upacara-upacara keagamaan dan menjadi tulang punggung kebudayaan spirituilnya. “Zu” atau “Leluhur” dipuja dan dihormati oleh satu keluarga saja. Sedangkan “Shen” atau “Roh Suci” atau “Dewa” dipuja dan dihormati oleh banyak orang. Zu meninggalkan kebajikan dan mengulurkan berkah buat satu keluarga tertentu saja, tetapi Shen berbuat kebajikan dan melimpahkan berkah bagi rakyat banyak.

            Di dalam Li Ji (Lee Ki – hokkian) atau Kitab Catatan Kesusilaan/Kitab Catatan Upacara yang ditulis oleh Nabi Kong Zi disebutkan bahwa “Kaisar-kaisar bijaksana harus dijunjung tinggi, orang-orang bijak yang membuat undang-undang untuk ketentraman rakyat harus dihormati, orang yang setia dalam menjalankan tugasnya harus dihormati, orang-orang yang membaktikan dirinya sepenuh hati pada Negara harus dihormati, orang gagah dan cendikiawan yang mampu menolak dan menghindarkan rakyat banyak dari malapetaka harus dihormati ……”. Dari keterangan itu dapat kita simpulkan bahwa orang-orang yang amal baktinya berguna untuk rakyat mendapat penghormatan dan layak dipuja dalam kelenteng sebagai “Shen”. Ada pameo yang mengatakan bahwa “Wan Wu Ben Yu Tian” yang artinya “Semua makhluk berasal dari Tuhan”. Jadi Tian menurunkan Zu dan dari Zu inilah diturunkan kita semua. Dari dasar pemikiran yang cukup sederhana ini berkembanglah suatu kebiasaan untuk memuja Tian sebagai pencipta alam dan penghormatan kepada leluhur.

            Tian sebagai Pencipta memang hanya satu, tapi jumlah Shen menjadi semakin banyak sesuai dengan tugas masing-masing sebagai “pembantu” Tian dalam mengatur alam semesta ini. Untuk minta petunjuk atau pernyataan terima kasih kepada para Shen tersebut maka diadakanlah upacara persembahyangan. Karena jumlah Shen yang tidak sedikit itu maka upacara-upacara menjadi makin sering dilakukan dan tata caranya makin beraneka ragam. Asal-usul para Shen itu kemudian menjadi semakin samara, sehingga timbul bermacam versi dari berbagai tempat yang berbeda-beda. Biasanya orang-orang memberi hormat tiap kali ia bertemu dengan Shen di suatu kelenteng walau ia sama sekali tak tahu siapa Shen yang ia temui itu. Mereka biasanya menyebut Shen sebagai “Shen Ming” yang berarti “Roh Gemilang” atau “Roh Suci”.

            Dari dasar ajaran “Jing Tian Zun Zu” yang berasal dari Nabi Kong Zi yang diuraikan di atas, diperkaya lagi dengan ajaran Daoisme dan Budhisme, maka akhirnya muncullah sosok agama khas Tionghoa yang merupakan endapan-endapan dari beberapa unsur di atas. Dalam kaitan inilah apa yang kita lihat adalah pemujaan terhadap para Budha (Fo Zhu), Bodhisatva (Pu Sa), Arhat (Luo Han), Dewa (Xian), Malaikat (Shen Ming), Nabi (Sheng) dan roh suci lainnya. Agama khas ini di daratan Tiongkok, Hongkong, dan Taiwan disebut sebagai ZU XIAN JIAO yang secara harfiah berarti “AGAMA LELUHUR”. Agama inilah yang sekarang ini dianut oleh sebagian besar orang Tionghoa baik di negeri asalnya maupun di perantauan.

Sabtu, 19 Februari 2011

ASAL USUL KELENTENG

          Orang Tionghoa sudah datang ke kepulauan Nusantara ini, jauh sebelum orang kulit putih pertama menginjakkan kakinya. Pemukiman mereka di pesisir utara pulau Jawa  sudah ada pada abad ke-14 yaitu pada jaman Majapahit, demikian ditulis oleh Ma Huan dalam bukunya Ying Ya Sheng Lan yang merupakan catatan penting tentang perjalanan Zheng He (Cheng Ho - Hokkian) ke Lautan Selatan dan singgah di Jawa pada masa itu. Bersamaan dengan kedatangan para imigran itu, mengalir masuk pula kebudayaan mereka, terutama kebudayaan spiritual seperti adat-istiadat, upacara-upacara, dan agama, walaupun tak sedikit pula yang langsung menganut agama penduduk setempat.
         
          Seiring dengan makin mapannya kehidupan di tanah perantauan, kebutuhan akan tempat beribadah sebagai tanda terima kasih kepada Yang Maha Kuasa pun mulai dirasakan. Maka berdirilah KELENTENG-KELENTENG di tempat pemukiman mereka sebagai tempat dilakukannya kegiatan rohani dan sosial. Kelenteng yang pada mulanya didirikan tentunya bercorak khas Tionghoa, tapi dalam perkembangannya kemudian banyak juga yang dipengaruhi oleh kebudayaan setempat, terutama setelah banyaknya tukang-tukang dan ahli pahat pribumi diikutsertakan dalam pembangunannya.

          Istilah "KELENTENG" merupakan bahasa Indonesia yang khusus untuk menyebut rumah ibadat yang digunakan oleh keturunan Tionghoa. Menurut beberapa pakar bahasa, istilah ini berasal dari bunyi "teng-teng" atau "kelenteng-kelenteng" yang sering diperdengarkan dari dalam bangunan itu, pada waktu diadakan upacara sembahyang.Bunyi-bunyian itu berasal dari lonceng-lonceng yang ditabuh pada waktu pembacaan doa-doa atau pada saat puncak upacara dilangsungkan.

          Dalam bahasa Tionghoa, kelenteng mempunyai banyak istilah, tergantung dari corak dan besar-kecilnya kelenteng tersebut.

          Istilah yang utama adalah "MIAO" (Bio - hokkian) yang berarti Kelenteng Besar. Seperti yang terdapat di samping pintu gerbang Tian An Men, Beijing, yaitu Da Miao (artinya Kelenteng Agung), yang merupakan bangunan peribadatan tempat para Kaisar dari dua dinasti - Ming dan Qing - melakukan upacara puja-bhakti kepada para leluhurnya.

          Tempat para pejabat tinggi memuja leluhurnya dinamakan "CI" (Su - hokkian) atau secara umum disebut "Ci Tang" atau "Zong Ci". Misalnya Wu-liang-ci yang terdapat di Jia-Xiang, provinsi Shandong yang merupakan kelenteng leluhur keluarga Wu dari jaman dinasti Han. Ada juga Miao yang diturunkan tingkatnya menjadi Ci. Di Cheng-du, provinsi Sichuan terdapat sebuah kelenteng yang bernama Xian-zhu Miao, untuk menghormati Liu Bei (Lauw Pi - Hokkian), di dekatnya terdapat sebuah kelenteng besar juga untuk menghormati Liu Chan, putera Liu Bei, kelenteng itu bernama Hou-zu Ci. Karena Liu Chan tidak becus maka kerajaan yang diwariskan kepadanya oleh sang ayah akhirnya runtuh, sebab itu rupanya orang menganggap tak layak kalau kelenteng yang didirikan untuk mengenang Liu Chan disebut sebagai Miao.

          Sesudah jaman dinasti Sui dan Tang, tempat beribadat kaum Taoist mulai banyak bermunculan, dan disebut "DAO YUAN". Dao Yuan dibagi 2 golongan menurut tingkatnya yaitu "GONG" (berarti Istana) dan "GUAN". Kelenteng bercorak Taoist yang didirikan oleh Kaisar disebut "Gong" seperti Qing-yang Gong di Chengdu, Yu-xiao Gong di Guangzhou. Keduanya adalah kelenteng Taoisme terkenal yang didirikan oleh Kaisar dinasti Song. Di Jawa juga terdapat kelenteng "Gong" yaitu Ci An Gong (Cu An Kiong - hokkian) di Lasem dan Yong An Gong (Eng An Kiong - hokkian) di Malang. Setingkat lebih rendah dari Gong adalah Guan. Kelenteng Bai Yun Guan di Beijing dan Xuan Miao Guan di Suzhou adalah contoh kelenteng Taoist yang dibangun pada jaman dinasti Yuan.

          Dapat ditarik kesimpulan bahwa tempat-tempat pemujaan terhadap "Gui Shen" (Kwi Sin - hokkian) atau "Roh Suci" dinamakan Ci atau Miao. Sedangkan Gong dan Guan adalah kelenteng para penganut Taoisme untuk memuja dewa-dewa Taoisme.

          Adalagi istilah lain yaitu "AN" (Am - hokkian) dan "SI" (Si - hokkian). Kedua istilah ini mengacu pada kelenteng para penganut Budhisme yang memuja Ru Lai Fo. Kelenteng bercorak Budhisme semacam ini biasanya besar dan memiliki asrama untuk para pendeta, tempat pendidikan, perpustakaan, tempat meditasi, dll. An adalah kelenteng yang khusus ditempati para bhikuni (rahib wanita). Si sebaliknya adalah kelenteng Budhisme yang ditempati para bhiku (rahib pria).

          Shao Lin Si (Siau Lim Si - hokkian), Bi Yun Si (Pek In Si - hokkian) adalah contoh dari "Si" yang terkenal di Tiongkok. Di Jawa ada beberapa "Si" yang terkenal antara lain Chao Jue Si (Tiao Kak Si - hokkian) di Cirebon dan Da Jue Si (Tay Kak Si - hokkian) di Semarang.

          Jadi  jelas bahwa "Kelenteng merupakan istilah asli Indonesia". Sebab dalam bahasa Tionghoa tak terdapat istilah yang demikian itu.